Demokrasi dan Spirit Sumpah Pemuda! (Grobog-Full)
Demokrasi dan Spirit Sumpah Pemuda!
Pemuda
Mengabdi Sebagai Guru di Pelosok Indonesia
*Sebuah catatan
di Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2012. Terbit di Harian
Fajar Edisi Senin 29 Oktober 2012 dengan perubahan
seperlunya. Oleh karena ini opini, mungkin bersifat subjektif, teoretis, bahkan
mengawang-awang. Namun, inilah tumpuan keresahan saya. Pemuda-pemuda lain di
seluruh Indonesia telah berbuat banyak untuk negeri ini. Mari “turut
menyalakan lilin, jangan hanya merutuki kegelapan (Mahatma Gandhi)”. Sebab,
ikhtiar untuk membangun Indonesia tidak akan pernah tuntas dan selesai.
Inilah catatan lengkap tersebut.
Inilah catatan lengkap tersebut.
Selamat Hari Sumpah Pemuda.
M E R D E K A!
Indonesia “disebut-sebut” sebagai negara gagal. Kesimpulan ini dikeluarkan oleh organisasi nirlaba Fund For Peace pada Juni 2012 setelah melihat posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang terus saja menukik terjun ke bawah. Apa yang menjadi penyebabnya? Apa yang salah dengan Indonesia? Sekurang-kurangnya alasan tersebut mungkin bisa dicermati lagi dari hasil berikut.
M E R D E K A!
Indonesia “disebut-sebut” sebagai negara gagal. Kesimpulan ini dikeluarkan oleh organisasi nirlaba Fund For Peace pada Juni 2012 setelah melihat posisi Indonesia dalam Indeks Negara Gagal yang terus saja menukik terjun ke bawah. Apa yang menjadi penyebabnya? Apa yang salah dengan Indonesia? Sekurang-kurangnya alasan tersebut mungkin bisa dicermati lagi dari hasil berikut.
Indonesia berada di persimpangan,
kualitas pemerintahnnya semakin merosot. Rilis yang ini dikeluarkan oleh
Freedom House medio Sepetember kemarin dalam sebuah laporan penelitian yang
diberi judul “Countries
at the Crossroads 2012“. Sebuah lembaga riset dan advokasi demokrasi dan
hak asasi manusia yang berbasis di Washington DC dan New York. Kriteria yang
dinilai ada empat poin diantaranya accountability and public voice, civil
liberties, rule of law, anti-corruption and transparency.
Dari empat poin yang menjadi
ikhtisar, hanya akuntabilitas publik yang mengalami kenaikan sekitar 0,68 poin
dari tahun lalu. Indonesia menerapkan standar dan upaya yang baik dalam
mengatasi persoalan ini. Tapi, juga tidak boleh membuat kita menutup mata
terhadap masalah lain yang lebih besar sementara menggerogoti bangsa.
Sebab tiga poin berikutnya yakni,
kebebasan masyarakat sipil termasuk kebebasan beragama, penegakan hukum, dan
pemberantasan korupsi serta transparansi: kondisinya terpuruk. Setidaknya,
inilah alasan yang sangat jelas bagi kita setelah melihat situasi Indonesia
belakangan ini.
Pertanyaan selanjutnya mungkin
relatif sulit dijawab. Adakah faktor yang menjelma sebagai hegemoni kegagalan
dan kemerosotan setiap jengkal Indonesia yang telah diruwat dengan susah payah?
Saya tidak sedang berspekulasi,
akan tetapi ketiga poin yang menunjukkan hasil kurang memuaskan tersebut,
semuanya bermuara pada tiga faktor utama. faktor pertama adalah kepemimpinan
tidak efektif. Faktor kedua adalah pemuda kehilangan fungsi kontrolnya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang semestinya menyita
perhatian mereka.
Faktor ketiga adalah kombinasi dari
kedua faktor di atas yakni, pemuda tidak punya keberanian –nyali- lagi untuk
tampil menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Dalam hal ini, saya lebih berat
kepada faktor ketiga sebagai jawaban pertanyaan di atas.
Oleh karenanya, saya tidak habis
pikir mengapa beberapa oknum kepemimpinan pemuda hari ini –kebanyakan di Partai
Politik dan Parlemen- malah terjerat kasus korupsi. Belum siapkah mereka
memimpin Indonesia yang sedemikian majemuk ini? Korupsi telah menjadi ladang
kebangkrutan bangsa.
Belum lagi, fakta keberadaan pragmatisme dan
fanatisme golongan yang primordial sempit menguasai. Sedikit-sedikit terjadi
konflik, perkelahian, tawuran, dan sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan
pemuda. Padahal, pemuda selayaknya menjadi “kawah candradimuka” seperti kata
Soekarno. Pemuda pada hakikatnya dibekali pemikiran yang jernih saat semua
terjebak dengan pemikiran mainstream.
Membarui Spirit Sumpah Pemuda
Rasanya kita perlu untuk menjejak
kembali hakikat persoalan pemuda Indonesia. Banyak yang telah dicatat dengan
tinta emas oleh sejarah masa lalu. Sudah saatnya, untuk mengingatkan mereka
kembali –termasuk saya- pada peristiwa bersejarah nan menggugah yang terjadi
puluhan tahun silam: Sumpah Pemuda.
Niatan untuk membentuk Indonesia
sebagai bangsa merdeka dan berdaulat sudah bulat dalam dada pemuda ketika itu.
Meskipun Indonesia masih berupa wilayah imaji dari Hindia-Belanda. Sumpah
Pemuda memang tidak diformulasikan untuk waktu sempit 28 Oktober 1928 saja.
Visi Sumpah Pemuda jauh ke depan melampaui masanya.
Romantisme histori bukanlah tujuan,
tetapi spirit yang terus berkobar kita coba cecap bersama. Pertama, spirit
semangat untuk bersatu dalam perbedaan. Para pemimpin Jong dan berbagai
pemimpin organisasi kepemudaan pada ketika itu tidak menggiring kesukuaan dan
asal daerah. Identitas ditanggalkan untuk sebuah harapan baru.
Kedua, spirit untuk tidak larut
dalam berbagai persoalan. Para pemuda ingin melepaskan diri dari jerat
kolonialisme dan komitmen kesatuan diantara mereka adalah syaratnya. Kita menyimpulkan,
merekalah pionir kemerdekaan Indonesia yang sesungguhnya setelah organisasi
nasionalis Boedi Oetomo.
Kedua spirit itu secara bersamaan
dan terus saja menerus “Menjadi Indonesia”. Sebab itulah proses yang mesti
dijalani. Soekarno mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada masa umurnya
masih 27 tahun: puncak pemudaannya.
Upaya menuju klimaks begitu
mendebarkan dan menggetarkan nurani kemerdekaan tatkala Soekarno merumuskan dan
membahas konsep pandangan hidup atau filsafat calon negara Indonesia di depan
peserta rapat Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Daam rapat tersebut
dipaparkanlah wajibnya Indonesia memiliki “sesuatu” yang universal: Weltanschauung,
yang “kita semua setujui”.
Semua usaha dan upaya tersebut,
klimaksnya berujung dan berwujud yuridis formal pada Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia 17 Agusutus 1945, yang apabila ditilik dari sisi peran
pemuda sejak 1908, sejatinya merupakan formalisasi -meminjam istilah Aria Bima
Sugiarto- apresiasi kultural dan politis dari spirit Sumpah Pemuda.
Bangga “Menjadi Indonesia”!
Mereka yang menjadi penggagas dan
pengikrar “Soempah Pemuda”, kemudian hari bahkan menjadi pemimpin bersih
dan berwibawa di masa awal kemerdekaan. Tidak ada yang tidak mungin dilakukan
bilamana pemuda bersatu melebur dalam cita-cita luhur, “Bangsa Yang Satoe”:
Bangsa Indonesia. Sumpah Pemuda digerakkan dan menggerakkan cita-cita itu,
sebuah harapan, dan pula sebuah rancangan tentang “Tanah Air Yang Satoe”:
Tanah Air Indonesia. Disuara-lantangkan bersama-sama dengan “Bahasa Yang
Satoe, Bahasa Persatoean”: Bahasa Indonesia.
Jejeran tujuh belas ribu pulau yang
menggenapi Indonesia sudah barang tentu memiliki unsur pembentuk yang tidak
sama. Berbeda antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, atau bahkan eksotisme
Papua.
Ada tata simbolik yang
mempersatukan para pemuda Indonesia, sekali lagi: Sumpah Pemuda beserta
spiritnya. Harapan terbesarnya, spirit tersebut juga harusnya ditanamkan dan
dimaknai kembali dalam kehidupan kekinian. Sebab pemuda hari ini, zaman dan
kompleksitas masalahnya begitu jauh berbeda.
Segenap unsur yang partikularis
(sempit) harus dilebur ke dalam sesuatu yang universalis (luas). Beragam
perbedaan itu disalinrupakan menjadi semangat membangun Indonesia. Melihat sisi
lain Indonesia dari sisi optimisme pemuda dengan gebrakannya.
Jika kita lihat kini realita dan
konteks kekiniannya, itulah cita-cita di mana kita mendambakan sebuah negeri
yang aman, damai, dan sejahtera. Tempat orang yang (b)eragam -tidak (s)eragam-
memutuskan untuk tak saling melempari bom, enggan melempari rumah ibadah
pemeluk agama lain dengan batu, untuk tidak saling berlomba mengelabui rakyat
dengan janji-janji palsu sebelum pemilu, atau untuk tidak mencuri uang rakyat
dengan korupsi di pemerintahan.
Kita mengapresiasi, Pemuda
Indonesia yang hari ini sibuk dengan berbagai macam aktvitas yang
mempersatukan. Sehingga, pada masa nanti ketika Aceh, Sumatera, Jawa, Bali,
Sulawesi, atau Papua disebut, kita akan berseru dengan lantang: I N D O N E S I
A. Dengan suara yang bergetar karena ada dignity -harga diri, yang bisa
mengangkat mereka. Yang membuat mereka bangga. Bangga karena mereka bersatu.
Harga diri itu adalah pemaknaan sebuah Sumpah Pemuda yang diikrarkan
berpuluh-puluh tahun yang lalu itu.
Sekarang waktunya mencoba fokus mencari solusi ruwetnya
permasalahan bangsa yang belum mau terurai. Pemuda hari ini harus melebihkan
upaya dan memimalkan keluh. Sehingga sebutan “Indonesia Negara Gagal” tidak
lagi menyita perhatian kita. Mari bekerja…